Kopi, Pink, Kalender

Belum lama ini aku membaca tips menulis dari si kokoh aMrazing, mengambil tema berdasarkan tiga kata saja, katanya terserah, lalu kembangkan tiga kata itu menjadi sebuah cerita.

Setelah sekian detik berbengong-bengong ria, akhirnya ku putuskan untuk mencoba membuat cerita seperti tips yang ditulis si kokoh. Tiga kata yang ku pilih adalah kopi, pink, dan kalender. Here is a little challenge for myself..
*
*
*
*
Jam dinding masih berdetik, jarum panjang dan jarum pendeknya menunjukkan bahwa senja akan tiba sebentar lagi. Aku duduk di kursi kerjaku, menunggu layar komputerku yang sedang loading karena baru saja ku restart. Disaat-saat 'penantian' seperti ini, biasanya tanganku tidak bisa diam. Biasanya, aku akan mencari-cari sesuatu yang bisa kulakukan, membaca buku misalnya, atau memijit-mijit layar touchscreen handphone ku untuk melihat-lihat Instagram. Tapi, saat ini aku enggan melakukan apa pun.

Pandanganku menerobos jendela di sampingku yang membingkai langit yang perlahan-lahan berubah warna. Tapi, sebenarnya pikiranku menerawang ke masa lalu. Dulu, aroma kopi akan tercium pada jam-jam seperti ini. Dulu..

Aku menoleh ketika telingaku seolah menangkap derap kaki langkah mendekat. Di situlah ku lihat dirinya. Sosok laki-laki tinggi dengan rambut tebal yang selalu ditata ke samping berdiri di hadapanku. Kedua tangannya tampak sibuk memegang dua buah cangkir

"Kopi," katanya sambil mengangkat sebelah tangannya yang memegang sebuah cangkir.
Disaat-saat seperti itu, senyum lebar selalu menghiasi wajah tampannya. Guratan-guratan halus yang terukir di pipinya menjadi ciri khas tersendiri saat ia menorehkan senyum. Laki-laki itu menyodorkan secangkir kopi di tangan kanannya padaku.

Sesaat aku bergeming, berusaha menikmati saat-saat itu. Saat-saat tatapan mataku beradu dengan mata hitamnya, saat-saat ketika senyumku ikut mengembang bersamaan dengan senyum yang ditorehkannya. Saat-saat obrolan dan canda tawa mengalir begitu saja tanpa meninggalkan luka. Saat-saat yang aku tahu tidak akan pernah ku alami lagi. Detik berikutnya, sosok itu menghilang dari hadapanku. Helaan napasku selanjutnya menjadi pengingat bahwa aku sudah tidak boleh lagi bergelut dalam kenangan.

Ku ambil kalender mejaku, namun tak lama aku melamun lagi. Baru sebulan berlalu. Baru sebulan aku tidak lagi mencium aroma kopi di tengah-tengah penantian senja. Baru sebulan aku tidak lagi melihat guratan-guratan halus yang terukir di wajahnya saat ia menorehkan senyum. Baru sebulan aku tidak lagi melihat senyum yang terlihat lucu namun menenangkan. Baru sebulan rupanya. Sebulan yang terasa seperti sudah bertahun-tahun lamanya.

Rasa sesak kembali menjalar walau sudah berkali-kali aku berusaha menetapkan hati untuk tidak lagi peduli pada masa lalu. Sakit kembali terasa walau sudah berkali-kali aku berusaha melupakan kata-kata perpisahan itu untuk selamanya. Kata-kata itu kembali menari-nari dalam ingatan dengan begitu kurang ajarnya.

 "Kita tidak perlu bertemu lagi." 
 Kalimat yang paling tidak ingin kudengar lagi sampai kapan pun. Kalimat yang tidak akan pernah kusukai sampai kapan pun. Mataku sudah berkaca-kaca dan air mata sudah mengancam turun. Sial.

Ku alihkan pandanganku kembali ke jendela yang kini tengah mempertontonkan senja, tanpa peduli lagi pada layar monitorku yang sudah kembali menyala. Langit tengah mempertontonkan perpaduan warna pink dan jingga yang seolah memeluk hati gundahku. Langit pink-jingga seolah menatapku memaklumi. Aku kembali menangis sejadi-jadinya.

Comments

Post a Comment

Popular Posts